GorEsAn WaRnA - WarNI

Warna-warni itu punya berjuta hikmah dan makna

Selasa, Maret 04, 2008

Film "Ayat-Ayat Cinta"

X: ud nonton ayat2 cinta blm?
X: mending jangan deh..
X: emang napa?
X: beda banget sama novelnya
Y: aq udh beli tiketnya buat nomat ntar malem...
Y: ya iyalah...
Y: klo sama persis malah ga ada nilainya donk...
Y: itu kan karya 2 orng yg berbeda...


Saya menjawab pertanyaan seorang teman dengan sok bijak, enggan menjawab dengan sok tahu karena waktu itu saya memang belum menonton filmnya.


Dan setelah menonton filmnya, inilah penilaian yang bisa saya sampaikan :

Kesampingkan dulu untuk membandingkan antara film dengan novelnya, karena seperti yang saya bilang, ini adalah karya 2 orang yang berbeda (meskipun film diangkat dari novelnya).

Dimulai dari judulnya "Ayat-Ayat Cinta", terus terang (menurut saya) film ini tidak menjelaskan maksud dari judulnya. Bila saya tidak membaca novelnya terlebih dahulu, saya tidak mengerti mengapa film ini diberi judul "Ayat-Ayat Cinta". Cerita mengenai sosok Maria Girghis yang sangat mengagumi Islam dan hafal surat Maryam baru diperlihatkan di akhir-akhir film, padahal menurut saya istilah "Ayat-ayat cinta" diangkat dari kisah Maria yang sudah mengagumi Islam dan ayat-ayat yang ada dalam Al Quran bahkan sebelum ia kenal dengan Fahri.

Kedua, yang sangat mengganggu saya, adalah adegan-adegan yang berlebihan antara kedua tokoh utama dalam film ini. Meskipun dalam cerita ini mereka adalah pasangan suami istri, tapi kurang sopan jika menampilkan adegan tersebut di depan umum, terlebih dalam kehidupan sebenarnya para tokoh ini bukan suami istri. Begitu pula adegan ketika Aisha dan Nurul membuka jilbab mereka, meskipun dalam cerita mereka sedang berada didalam rumah atau dalam suasana yang tidak ada non muhrim didekatnya, tapi tetap saja saya risih melihatnya, karena sejak awal film sosok nurul dan aisha memakai jilbab santun dan rapi, apalagi aisha yang bercadar.

Ketiga, alur pengantar cerita terlihat terlalu panjang (mungkin karena diangkat dari sebuah novel yang memang panjang dan berliku). Hingga sulit untuk menebak mana inti cerita, klimaks dan antiklimaksnya. Seseorang yang menonton bersama saya (dia belum pernah membaca novelnya) bilang bahwa dia mengira filmnya sudah habis ketika Fahri menikah dengan Aisha. Padahal dari sinilah konflik baru akan dimulai.

Keempat, tentu saja tentang improvisasi sang sutradara (yang berbeda jauh sekali dengan novelnya), yang mungkin akan menjadi pertentangan bagi mereka yang pro dan anti poligami. Kisah rumah tangga Fahri beserta kedua istrinya digambarkan begitu jelas beserta seluk beluk permasalahan rumah tangganya. Sekali lagi, menurut saya ini menjadikan inti ceritanya bias.

Lagi-lagi menurut saya, persepsi orang yang membaca novelnya lalu menonton filmnya akan berbeda dengan orang yang langsung menonton filmnya. Bisa jadi karena saya sudah membaca novelnya terlebih dulu, maka perbedaan-perbedaannya saya anggap sebagai kekurangan film ini. Karena itu, saya akan mengatakan, ini adalah karya dua orang yang berbeda. Habiburrahman El Shirazy dan Hanung Bramantiyo. Bagaimanapun saya akan memberikan penghargaan bagi keduanya. Semoga pesan nilai-nilai Islami, baik di dalam novel maupun dalam filmnya, tersampaikan pada orang-orang yang terlibat dalam karyanya, baik itu pembaca novel, penonton film, maupun pemain dan kru film (saya salut pada para aktor & artis yang sangat fasih melafalkan bahasa Arab). Semoga semuanya dapat menjadi hikmah.

0 yang kasih komentar:

Posting Komentar

<< Home

 
body