Kontemplasi Sunyi
Betapa takaburnya diri ini yang selalu saja mengabaikan peringatan-Nya dan gagal merendahkan hati di hadapanNya. Apakah hati dan pendengaran ini telah terkunci mati hingga tak kudengar sama sekali gema perjuangan yang menyuarakan hingga ke dalam hati manusia? Alangkah dzalimnya diri ini yang selalu mengatasnamakan perasaan-perasaan duniawi sebagai apologi. Kesibukan, kesakitan, trauma, luka, ketidakberdayaan…layakkah semua itu kujadikan sebagai alasan untuk menghilang sementara dari perjuangan ini? Padahal perjuangan tak mengenal kata henti, tak mengenal ambisi-ambisi pribadi dan tak dibangun atas dispensasi, tetapi di atas azimah
Begitu mudahnya kubiarkan kepalaku tunduk dalam kepasrahan. Lihatlah tatapan garang Ernesto “Che” Guevara yang menertawakan diriku yang terpuruk dalam stagnasi : Jika hati anda bergetar melihat penindasan, maka lawanlah. Sebab diam adalah bentuk pengkhianatan
Rabbi, jika esok bukan milikku lagi, tolong jadikan hari terakhir ini sebagai hari yang paling berarti. Izinkan aku menuntaskan misi muliaku. Biarkan aku berlari secepat angin dan menjalani sisa penghidupan ini untuk menemukan arti diri, untuk merasakan mimpi –mimpi terakhir dan tertinggi
Kontemplasi sunyi mengiringi perjalanan menyusuri relung hati
Label: renungan
0 yang kasih komentar:
Posting Komentar
<< Home